MENYUSUN
STRUKTUR ORGANISASI
PERGURUAN
TINGGI YANG SEHAT DAN EFISIEN
Yohannes Suraja
Abstract
In order to achieve the goals of higher education, each institution needs a
good organizational structure, that is healthy and
efficient organizational structure. In the process of forming the organizational structure, the team should
pay attention and apply various principles
of organizations, namely formulation of
clear goals, departmentalisation,
division of labor, delegation of
authority, the span of control, levels
of the organization, and unity of
command. The implementation of these principles in the
process of organizing can generate
healthy and efficient organizational structure.
Keywords
: organization structure, organizing, principles of organization
A. Pendahuluan
Dengan ditetapkan dan diber-lakukannya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penyeleng-garaan Pendidikan Tinggi dan Pe-ngelolaan Perguruan Tinggi, maka sejak
diundangkannya PPRI ini pada tanggal 4 Februari 2014 setiap PTN dan PTS
disibukkan dengan kegiatan penyesuaian berbagai peraturan dan pelaksanaan bagi
perguruan tinggi-nya masing-masing. Hal
ini selaras dengan amanat Pasal 36 PPRI ini, “Semua
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan”.
Salah satu hal yang perlu dise-suaikan
oleh setiap perguruan tinggi yaitu berkenaan dengan unsur-unsur PT. Pada Pasal
28 disebutkan bahwa organisasi PTN dan PTS paling sedi-kit terdiri atas unsur :
1.
penyusun
kebijakan
2.
pelaksana
akademik
3.
pengawas
dan penjaminan mutu
4.
penunjang
akademik atau sumber belajar; dan
5.
pelaksana
administrasi atau tata usaha.
Dibandingkan
dengan PPRI No-mor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
Pasal 27 yang
menyebutkan un-sur-unsur susunan perguruan tinggi, dapat dikatakan unsur-unsur
perguruan tinggi Pasal 28 PPRI Nomor 4 Tahun 2014 tersebut tampak lebih
sederhana. PPRI Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi
Pasal 27 menye-butkan susunan perguruan
tinggi ter-diri atas unsur-unsur sebagai berikut :
1. dewan
penyantun
2. unsur
pimpinan
3. unsur
tenaga pengajar para dosen
4. senat
perguruan tinggi
5. unsur
pelaksanaan akademik :
a. bidang
pendidikan
b. bidang
penelitian
c. bidang
pengabdian kepada ma-syarakat
6. unsur
pelaksana administrative
7. unsur
penunjang untuk pelaksana yang meliputi:
a. perpustakaan
b. laboratorium
c. bengkel
d. kebun
percobaan
e. pusat
komputer
f. bentuk
lain yang dianggap per-lu untuk mendukung penye-lenggaraan pendidikan akade-mik
dan/atau professional pada perguruan tinggi yang bersang-kutan.
Meskipun tampaknya susunan
perguruan tinggi pada Pasal 27 PPRI No. 60 Tahun 1999 lebih detil, na-mun
apabila dilihat pada dasarnya mempunyai unsur-unsur yang hampir sama, dan hal
ini dapat diamati pada nomenklaturnya. Namun demikian penulis menangkap ada
tujuan yang hendak dicapai dengan pember-lakuan PPRI yang baru tersebut, yaitu
lebih efektifnya perguruan ting-gi mencapai tujuan pendidikan tinggi
sebagaimana ditetapkan dalam Un-dang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pen-didikan Tinggi. Dinyatakan
bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki
peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi de-ngan memperhatikan dan menerap-kan nilai humaniora
serta pembuda-yaan dan pemberdayaan bangsa In-donesia yang berkelanjutan. Di
sam-ping pendidikan tinggi juga dimak-sudkan untuk meningkatkan daya sa-ing
bangsa dalam menghadapi glo-balisasi di segala bidang, dan untuk ini pendidikan
tinggi harus mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
menghasilkan in-telektual, ilmuwan,
dan/atau profesi-onal yang berbudaya dan kreatif, to-leran, demokratis,
berkarakter tang-guh, serta berani membela kebe-naran untuk kepentingan bangsa.
Tulisan ini dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa setiap pemben-tukan struktur
perguruan tinggi dia-rahkan untuk mencapai tujuan secara efektif, dan
untuk menjelaskan ten-tang perlunya setiap perguruan tinggi berupaya menyusun
struktur organi-sasi perguruan tinggi yang baik, dalam rangka melaksanakan
amanat PPRI Nomor 4 Tahun 2014. Hal ini diinspirasi oleh pandangan Ferrell,
Hirt, dan Ferrell (2009, 202) bahwa manajemen sebagai proses yang di-desain
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan menggunakan sumber daya-sumber
daya secara e-fektif dan efisien di dalam ling-kungan yang terus berubah.
Dengan demikian struktur organisasi, sebagai hasil dari proses manajemen, dalam
hal ini sebagai output dari proses pengorganisasian, mempunyai andil dalam
mencapai tujuan pendidikan tinggi. Oleh karena itu pula dapat dikatakan betapa
pentingnya setiap perguruan tinggi melalui tim kerjanya melakukan pengorganisa-sian
secara baik dan benar, agar di-hasilkan struktur organisasi yang baik. Hasil
kerja tim ini kemudian di-rumuskan di dalam statuta yang di-sahkan atau
ditetapkan oleh penye-lenggara perguruan tinggi (yayasan, majelis wali amanat).
B. Pembahasan
1.
Perguruan
Tinggi yang Efektif
Hall
(1991, 249) mencatat ada dua model keefektifan organisasi, yaitu model sistem
sumber daya (The System-Resource Model),
dan model tujuan (The Goal Model). Model
sistem sumber daya mendefinisikan keefektifan sebagai kemampuan un-tuk
mengeksploitasi lingkungan or-ganisasi di dalam tindakan mem-peroleh sumber
daya yang langka dan bernilai untuk melanjutkan fung-si organisasi. Sedangkan
model tuju-an, secara sederhana mendefinisikan keefektifan sebagai tingkat atau
ke-mampuan organisasi merealisasikan tujuan-tujuannya. Sedangkan kom-pleksitas
terjadi karena organisasi mempunyai tujuan-tujuan yang se-ringkali saling
bertentangan, me-ngandung keberagaman dan ketidak-sesuaian satu tujuan dan
tujuan-tu-juan lainnya. Untuk menguraikan keefektifan perguruan tinggi, kedua
model tersebut dapat disintesakan, bahwa keefektifan suatu perguruan tinggi
adalah tingkat pencapaian tu-juan perguruan tinggi dalam menja-lankan fungsinya
dengan mengerah-kan semua sumber daya yang dimi-liki.
Seperti
tersurat di atas, dapat dikatakan bahwa perguruan tinggi dengan fungsi menjalankan
pendi-dikan tinggi bermaksud mencapai tujuan (1) mencerdaskan kehidupan bangsa (2)
memajukan/mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia
yang berkelanjutan, (3) meningkatkan
daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, (4) meng-hasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau professional yang berbudaya dan
kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tang-guh, serta berani membela
kebenaran untuk kepentingan bangsa.
Tujuan tersebut, ketika diru-muskan ulang oleh
setiap perguruan tinggi, sangat mungkin terjadi inter-pretasi yang beragam,
sehingga dapat berakibat rumusan tujuan perguruan tinggi dalam mengemban fungsi
pen-didikan tinggi juga bervariasi rumusan isinya, meskipun semua diharapkan
tetap mengacu pada dan tidak bias dari tujuan pendidikan tinggi tersebut. Dan
berkenaan dengan keefektifan perguruan tinggi, setiap perguruan tinggi diha-rapkan
dapat menjadi perguruan tinggi yang efektif, yang dapat mewujudkan keempat
unsur tujuan pendidikan tinggi tersebut, dengan memanfaatkan segala sumber daya
yang dimiliki seperti dosen sebagai tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
yang merupakan unsur sumber daya manusia perguruan tinggi; di samping sumber
daya material, mesin termasuk fasilitas dan energi, uang, dan informasi
termasuk data yang dimiliki perguruan tinggi (bandingkan McLeod, 1995, 5).
Berdasarkan pendekatan sistem
dapat dikatakan bahwa segala bentuk sumber daya yang dimiliki perguruan tinggi
merupakan komponen input yang terlibat dan digunakan di dalam proses pendidikan
tinggi untuk menghasilkan lulusan yang cerdas, menghasilkan intelektual,
ilmuwan, dan/atau profe-sional yang
berbudaya dan kreatif, tole-ran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani
membela kebenaran untuk kepentingan bangsa; yang berdampak dapat memajukan/mengembangkan il-mu pengetahuan dan
teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan
dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan; dan dapat berdaya saing
di segala bidang di era global sekarang dan yang akan datang.
2.
Struktur
Organisasi Perguruan Tinggi yang Baik
Struktur
organisasi merupakan output dari fungsi pengorganisasian, yang merupakan suatu
aktivitas atau fungsi manajemen, di samping pe-rencanaan, staffing, pengarahan,
dan pengawasan (Ferrell,
Hirt, dan Ferrell, 2009, 203). Pengorganisasian adalah fungsi manajemen yang dimaksudkan untuk menyusun atau mengatur sumber daya-sumber
daya dan aktivitas-aktivitas organisasi untuk mencapai tujuan-tujan dengan cara
yang efektif dan efisien. Pimpinan perguruan tinggi atau tim penyusun dalam
fungsi pengorgani-sasian ini melakukan review terhadap rencana dan menentukan
aktivitas-ak-tivitas yang dibutuhkan untuk melaksa-nakannya; kemudian membagi
pe-kerjaan-pekerjaan kepada unit-unit dan memberikannya kepada individu-indi-vidu,
kelompok-kelompok, atau unit kerja-unit kerja. Pengorganisasian ini penting
karena beberapa alasan berikut. Pengorganisasian (1) membantu men-ciptakan sinergi dari semua unsur
atau bagian; (2) menetapkan garis wewe-nang,
( 3) memperbaiki komunikasi; (4)
membantu menghindari duplikasi sum-ber daya, (5) dan dapat memperbaiki
daya kompetisi melalui kecepatan pengambilan keputusan dan pelayanan kepada
pengguna jasa.
Jadi
proses pengorganisasian menghasilkan struktur organisasi. Struktur organisasi
adalah kerangka hubungan satuan-satuan organisasi yang di dalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang
masing-masing mempunyai peranan tertentu
dalam kesatuan yang utuh (Sutarto, 1988, 37). Sedangkan Ferrell, Hirt, dan Ferrell (2009,
236-237) mende-finisikan struktur organisasi sebagai susunan atau hubungan dari
posisi-posisi di dalam suatu organisasi. Struktur organisasi menjadi jelas setelah divisu-alisasi menjadi “bagan
struktur organi-sasi” atau “bagan organisasi” (organiza-tional chart), yang merupakan pertun-jukan visual dari
struktur organisasi, garis wewenang atau rantai perintah, hubungan staff,
susunan komite atau panitia tetap, dan garis komunikasi.
Setiap perguruan tinggi harus
berupaya membentuk struktur organi-sasi
yang baik. Struktur organisasi yang baik
harus memenuhi syarat sehat dan efisien.
Struktur organisasi yang sehat berarti tiap-tiap satuan organisasi yang ada
dapat menjalankan peranannya dengan tertib. Struktur organisasi yang efisien berarti dalam
menjalankan peranannya masing-masing satuan organisasi dapat mencapai
perbandingan terbaik antara usaha dan hasil kerja (Sutarto, loc. cit.) Serupa Sutarto, The Liang Gie (2000,
43) menguraikan struktur
organisasi yang sehat berarti bahwa organisasi mempunyai bentuk yang teratur di
mana masing-masing bidang kerja beserta pejabat, tugas, dan wewenangnya yang
merupakan satuan-satuan tertentu dalam ling-kungan keseluruhan organisasi dapat
menjalankan peranannya dengan tanpa kesimpangsiuran. Sedangkan struktur
organisasi yang efisien ber-arti bahwa organisasi itu memiliki susunan yang
logis dan bebas dari sumber-sumber pergesekan sehingga segenap satuan di
dalamnya dapat mencapai perbandingan yang terbaik antara usaha dengan hasil
kerjanya baik mengenai mutu maupun ba-nyaknya hasil kerja itu.
Tentang struktur perguruan tinggi, seperti
disebutkan di atas struktur perguruan tinggi terdiri dari unsur-unsur atau
satuan-satuan orga-nisasi perguruan tinggi, yang menu-rut Pasal 28 PPRI Nomor 4 Tahun 2014
terdiri dari :
a.
Penyusun
kebijakan
b.
Pelaksana
akademik
c.
Pengawas
dan penjaminan mutu
d.
Penunjang
akademik atau sumber belajar; dan
e.
Pelaksana
administrasi atau tata usaha.
Dengan dibedakannya antara penyusun
kebijakan, pelaksana aka-demik, dan pengawas penjaminan mutu seperti teori
trias politika yang membedakan kekuasaan legislative (pembuat peraturan),
kekuasaan ek-sekutif (pelaksana peraturan), dan kekuasaan yudikatif (pengawas
pe-laksanaan peraturan) ini menjadikan struktur organisasi perguruan tinggi
menurut PPRI Nomor 4 Tahun 2014 ini sebagai struktur organisasi yang baik :
yang sehat dan efisien. Struk-tur organisasi perguruan tinggi yang sehat, dapat
berdampak pada terja-dinya struktur organisasi yang efisi-en, yang memungkinkan
perguruan tinggi dapat mencapai hasil pendi-dikan yang membanggakan karena
lulusan yang cerdas,
intelektual, ilmu-wan, dan/atau professional
yang berbu-daya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta
berani mem-bela kebenaran untuk kepentingan bangsa, dengan satuan-satuan
dalam lingkungan perguruan tinggi dapat
menjalankan peranannya dengan tan-pa kesimpangsiuran dan dengan de-mikian
pemborosan dapat dicegah dan diminimalisir.
3.
Asas-Asas
Organisasi
Untuk
mencapai bentuk struk-tur organisasi yang baik, pimpinan dan tim pembentuk
struktur organi-sasi harus memperhatikan beberapa asas organisasi. Sutarto
(1988, 39-40) mengatakan asas-asas organisasi adalah berbagai pedoman yang seda-pat
mungkin dilaksanakan agar di-peroleh struktur organisasi yang baik dan
aktivitas organisasi dapat berjalan lancar. Oleh karena itu agar dapat
diperoleh struktur organisasi yang sehat dan efisien, pada waktu membentuk tim
perguruan tinggi harus memperhatikan berbagai asas organisasi. Perhatian dan
penerapan asas-asas ini juga dimaksudkan agar perguruan tinggi tidak menghadapi
masalah-masalah seperti susunan ata-u struktur organisasi perguruan ting-gi
seperti pembentukan satuan orga-nisasi
yang tidak sesuai dengan volu-me kerja, tiap pejabat tidak menge-tahui tanggungjawab dan tugasnya; adanya kekembaran
pekerjaan, keko-songan pengerjaan atas sesuatu aktivitas, tidak dipahaminya
bahwa setiap pejabat harus memiliki we-wenang, adanya pejabat pimpinan yang
rangkap jabatan, pejabat yang memiliki bawahan terlalu banyak, jenjang
organisasi terlalu panjang, terjadinya perintah ganda sehingga dapat menjadikan
bawahan bingung bertanggungjawab kepada siapa, dan penempatan satuan organisasi
yang tidak sesuai dengan peranannya.
Dari
82 asas organisasi, Sutarto (1988, 55-177) mendalami 11 asas yang berkaitan
dengan pembentukan struktur organisasi yang baik, dan dengan kinerja organisasi
yang op-timal. Kesebelas asas itu adalah pe-rumusan tujuan dengan jelas, depar-temenisasi,
pembagian kerja, koordi-nasi, pelimpahan wewenang, ren-tangan kontrol, jenjang
organisasi, kesatuan perintah, fleksibilitas, ke-berlangsungan, dan
keseimbangan. Karena pertimbangan tidak semua kesebelas asas tersebut berkaitan
de-ngan upaya menjadikan struktur or-ganisasi perguruan tinggi yag baik, maka
dalam tulisan ini akan dije-laskan asas-asas yang terkait yaitu perumusan
tujuan dengan jelas, de-partemenisasi, pembagian kerja, pe-limpahan wewenang,
rentangan kon-trol, jenjang organisasi, dan kesatuan perintah.
a.
Perumusan
Tujuan yang Jelas
Tujuan
perguruan tinggi diru-muskan dalam rumusan visi, misi, tujuan, dan sasaran yang
ingin dica-pai secara bertahap dalam jangka waktu dan periode tertentu. Setiap
perguruan tinggi harus berupaya me-rumuskan visi, misi, tujuan, dan sa-saran
yang ingin dicapai dengan jelas sehingga dapat memudahkan tim kerja penyusun
struktur organisasi untuk dijadikan pedoman dalam penentuan macam pekerjaan, mene-tapkan
dan mengelompokkan aktivi-tas-aktivitas atau fungsi-fungsi per-guruan tinggi
untuk mencapai tujuan, menentukan kebutuhan pejabat, me-lakukan pembagian
kerja, pemben-tukan struktur organisasi,
dan pemi-lihan bentuk organisasi.
Untuk
merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran hendaknya setiap perguruan tinggi
mengacu pada per-aturan perundangan yang berlaku dalam hal ini seperti UURI
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen-didikan Nasional, UURI Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan PPRI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendi-dikan
Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Tujuan pendidikan yang diru-muskan
oleh pemerintah menjadi stan-dar bersama, dan apabila setiap per-guruan tinggi
mempunyai tujuan tam-bahan yang selaras dengan tujuan bersama bisa menjadi
nilai plus (tam-bah).
b.
Departemenisasi
Ferrell, Hirt, dan Ferrell (2009,
203) menyebut departemenisasi sebagai “departmentalization”,
yaitu pengelom-pokan pekerjaan-pekerjaan ke dalam unit-unit kerja yang biasa
disebut departemen-departemen, unit-unit, ke-lompok-kelompok, atau
divisi-divisi. Sedangkan Sutarto (1988,
60) mendefinisikan departemenisasi seba-gai aktivitas
menyusun satuan-satuan organisasi yang akan diserahi bidang kerja tertentu atau
fungsi tertentu. Fungsi adalah sekelompok aktivitas sejenis berdasarkan
kesamaan sifat-nya atau pelaksanaannya. Berdasar-kan pengertian ini, dapat
dikatakan bahwa untuk menentukan dan me-nyusun satuan-satuan organisasi, tim
penyusun harus dapat menentukan bidang kerja atau fungsi-fungsi yang dibutuhkan
untuk merealisasikan tu-juan.
Untuk menyusun satuan-satuan
organisasi perguruan tinggi, tim da-pat mengacu Pasal 28 PPRI tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Dalam pasal tersebut
disebutkan un-sur-unsur perguruan tinggi minimal terdiri dari : penyusun
kebijakan, pe-laksana akademik, pengawas dan penjaminan mutu, penunjang akade-mik
atau sumber belajar; dan pe-laksana administrasi atau tata usaha. Memiliki
unsur-unsur tersebut seba-gai satuan-satuan organisasinya su-dah cukup bagi
suatu perguruan tinggi.
Selain memahami unsur-unsur atau
satuan-satuan pokoknya, tim ju-ga perlu memahami rincian dari se-tiap unsur
atau satuan apabila dibu-tuhkan. Misalnya untuk pelaksanaan bidang akademik
harus dilakukan bi-dang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Berdasarkan informasi tentang fungsi bidang pen-didikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat, tim menentukan satuan program studi untuk melaksanakan
pendidikan, lembaga atau pusat pe-nelitian untuk melaksanakan pene-litian, dan
lembaga atau pusat peng-abdian masyarakat untuk melak-sanakan fungsi pengabdian
kepada masyarakat. Demikian juga untuk menunjang kegiatan akademik, maka tim
dapat menentukan perpustakaan, laboratorium, bengkel, atau pun ke-bun percobaan
sesuai dengan kebu-tuhan.
Berkaitan dengan bentuk per-guruan
tinggi : universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan aka-demi, dapat
dikatakan bahwa uni-versitas dan institut merupakan or-ganisasi yang besar
dengan volume pekerjaan yang banyak-sangat ba-nyak, sekolah tinggi dan
politeknik merupakan organisasi yang cukup besar dengan volume pekerjaan yang
cukup banyak, sedangkan akademi merupakan organisasi perguruan tinggi yang
relative kecil dengan vo-lume pekerjaan yang relative sedikit. Volume pekerjaan
menentukan be-sarnya organisasi perguruan tinggi, yang harus diperhatikan oleh
tim penyusun struktur organisasi pergu-ruan tinggi untuk melakukan depar-temenisasi.
c.
Pembagian
Kerja
Pembagian
kerja adalah perin-cian serta pengelompokan aktivitas-aktivitas atau
tugas-tugas yang se-macam atau erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan
oleh sa-tuan organisasi atau seorang pejabat tertentu. Berkenaan dengan
aktivitas-aktivitas atau tugas-tugas di per-guruan tinggi, ada jenis aktivitas
atau tugas yang dilakukan oleh satuan organisasi (satuan kerja) atau pun yang
dilakukan oleh seorang pejabat tertentu. Misalnya,
(1) Fungsi penetapan, pertimbangan
pelaksanaan kebijakan umum, dan pengawasan nonakademik dilaku-kan oleh Yayasan
atau Majelis Wali Amanah.
(2) Fungsi penetapan kebijakan, pem-berian
pertimbangan, dan penga-wasan di bidang akademik dila-kukan oleh Senat
Akademik.
(3) Fungsi penetapan kebijakan non-akademik
dan Pengelolaan Per-guruan Tinggi dilakukan oleh pe-mimpin perguruan tinggi
(rektor, ketua, direktur yang dibantu paling sedikit 2 (dua) orang yaitu wakil
pemimpin bidang akademik, dan wakil pemimpin bidang non-akademik).
Untuk mengelola perguruan tinggi
di Universitas Gadjah Mada, Rektor dibantu oleh 5 (lima) orang wakil rector,
yaitu Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan; Wakil Rektor Bidang
Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi; Wakil Rektor Bidang Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat; Wakil Rektor Bidang SDM dan Aset; serta Wakil Rektor
Bidang Kerjasama dan Alumni (http://www.ugm.ac.id/id /tentang-ugm/3622-struktur.organisasi).
Di
Universitas Indonesia, Rektor dibantu oleh 4 (empat) wakil, yaitu Wakil Rector
Bidang Akademik dan Kemahasiswaan; Wakil Rektor Bidang Keuangan, Logistik, dan
Fasilitas; Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi; dan Wakil Rektor Bidang SDM,
Pengem-bangan dan Kerjasama (www.ui.ac.id/
meet-the-team-1.html). Tampak ada va-riasi sebutan
wakil rector di kedua perguruan tinggi tersebut.
(4) Fungsi pertimbangan nonakademik
dan fungsi lain yang ditetapkan da-lam Statuta dilakukan oleh dewan penyantun.
(5) Fungsi pengawasan nonakademik
untuk dan atas nama pemimpin perguruan tinggi dilakukan oleh satuan pengawas
internal seperti pusat jaminan mutu atau unit monevin.
(6) Fungsi
yang membantu penye-lenggarakan
pendidikan sesuai dengan bidang ilmu yang dikem-bangkan di perguruan tinggi/ fakultas
dilakukan oleh Penun-jang Akademik/Sumber Belajar seperti Laboratorium,
Bengkel, Kebun Percobaan, Perpustakaan melaksanakan.
(7) Fungsi
penyelenggarakan pela-yanan teknis dan administrative dilakukan oleh pelaksana
admi-nistrasi seperti bagian adminis-trasi akademik, bagian adminis-trasi
keuangan, bagian adminis-trasi sarana dan prasarana, bagi-an informasi, bagian surat
dan arsip, bagian administrasi kema-hasiswaan, bagian administrasi perencanaan
(bandingkan de-ngan Pasal 28, 29, dan 30 PPRI Nomor 4 Tahun 2014).
d.
Pelimpahan
Wewenang
Sutarto
(1988, 141-142) men-definisikan wewenang adalah hak se-orang pejabat untuk
mengambil tin-dakan yang diperlukan agar tugas serta tanggungjawabnya dapat
dilak-sanakan dengan baik. Pelimpahan wewenang adalah penyerahan seba-gian hak
untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tang-gungjawabnya dapat
dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain.
Ferrell, Hirt, dan Ferrell (2009,
242) mendefinisikan pendelegasian we-wenang sebagai memberikan kepada
pegawai tidak hanya tugas-tugas tetapi
juga kekuasaan untuk membuat komit-men, menggunakan sumber daya, dan mengambil
tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas itu. Delegasi juga memberikan tanggung-jawab atau kewajiban (responsibility, obligation) kepada
pegawai-pegawai untuk melaksanakan tugas-tugas yang diberikan secara memuaskan
dan me-nyelenggarakan tugas-tugas secara ber-tanggungjawab demi pelaksanaan
tugas yang baik. Pada prinsipnya, akun-tabilitas (accountability) berarti bahwa pegawai-pegawai menerima tugas dan
wewenang untuk melaksanakan tugas, serta hasil dan dampaknya dapat menjawab
kehendak atasan.
Sutarto juga mengemukakan bah-wa
pelimpahan atau pendelegasian wewenang dapat terjadi secara vertical atau horizontal. Secara
vertical (mene-gak), pelimpahan wewenang dilakukan oleh pejabat yang
berkedudukan lebih tinggi kepada pejabat yang berkedu-dukan lebih bawah atau
oleh pejabat atasan kepada pejabat bawahan. Se-dangkan secara horizontal
(mendatar), pelimpahan wewenang
dilakukan di antara pejabat yang sederajat.
Tim penyusun struktur organisasi
perguruan tinggi juga harus memper-hatikan dan melaksanakan prinsip pe-limpahan
wewenang yang dapat dila-kukan secara vertical dan horizontal, karena
pejabat-pejabat di lingkungan perguruan tinggi hanya dapat melak-sanakan
tugas-tugas setelah menerima pelimpahan wewenang yang diwujudkan dengan
penyerahan dan penerimaan surat tugas atau surat keputusan kepada seorang
pejabat untuk melaksanakan tugas tertentu, termasuk apabila pejabat mengalami
halangan dalam menjalankan tugas. Dengan demikian struktur organi-sasi
perguruan tinggi yang sehat dan efisien juga disebabkan karena keter-bukaan terhadap pelimpahan wewe-nang, yang
memungkinkan tugas-tugas selalu dan terus menerus dapat di-laksanakan.
e.
Rentangan
Kontrol
Rentangan
kontrol adalah (span of control, span of
authority, span of management, span of super-vision) adalah jumlah
terbanyak ba-wahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan
ter-tentu. Bawahan langsung adalah se-jumlah pejabat yang langsung berke-dudukan
di bawah seorang atasan tertentu. Yang dimaksud atasan lang-sung adalah seorang
pejabat yang memimpin langsung sejumlah ba-wahan tertentu.
Dari
berbagai studi, Sutarto (1988, 159) menyimpulkan bahwa rentangan kontrol yang
baik adalah terbatas, dan jumlah bawahan yang menjadi pedoman yaitu :
(1) Untuk
satuan utama, jumlah pe-jabat bawahan langsung sebaik-nya berkisar antara 3-10
orang.
(2) Untuk
satuan lanjutan, jumlah pejabat bawahan langsung seba-iknya berkisar antara
10-20 orang.
Yang
dimaksud satuan utama adalah satuan-satuan organisasi yang berkedudukan
langsung di bawah pu-cuk pimpinan. Sedangkan satuan lanjutan adalah
satuan-satuan organi-saisi yang berkedudukan di bawah satuan utama.
Tim penyusun struktur organi-sasi
perguruan tinggi harus memper-hatikan pedoman rentangan kontrol tersebut, untuk
mendapatkan hasil struktur organisasi yang sehat dan efisien dalam proses
pengorga-nisasian perguruan tinggi.
f.
Jenjang
Organisasi
Sutarto
(1988, 161-171) me-ngatakan jenjang organisasi (hierar-chy, level of management, scalar principle) adalah
tingkat-tingkat sa-tuan organisasi yang di dalamnya ter-dapat pejabat, tugas
serta wewenan tertentu menurut kedudukannya dari atas ke bawah dalam fungsi
tertentu.
Jumlah
jenjang organisasi yang baik adalah sependek mungkin, se-bab jenjang organisasi
yang terlalu panjang akan membawa akibat ham-batan dan penghamburan. Merupa-kan
hambatan karena perintah, pe-tunjuk, kepuusan dari pucuk pimpin-an sampai
kepada para pejabat yang berkedudukan paling bawah akan memakan waktu yang
lama, demi-kian pula sebaliknya laporan, penda-pat, dan pertanggungjawaban dari
para bawahan sampai pada pucuk pimpinan akan memakan waktu yan lama.
Berdasarkan jumlah jenjang ini dikenal : struktur organisasi pipih, struktur
organisasi datar, dan struktur organisasi curam.
Struktur
organisasi pipih (flat top organization)
adalah struktur organisasi yang melaksanakan jenjang organisasi antara 2-3
tingkat. Struktur organisiasi datar adalah struktur organisasi yang melaksa-nakan
jenjang organisasi sampai de-ngan 4 tingkat. Sedangkan struktur organisasi
curam adalah struktur or-ganisasi yang melaksanakan jenjang organisasi sampai
dengan 5-6 ting-kat.
Struktur
organisasi perguruan tinggi agar sehat dan efisien harus dibentuk dengan
memperhatikan ju-mlah jenjang atau tingkatan tersebut. Perguruan tinggi
berbentuk akademi, politeknik, dan sekolah tinggi meng-ambil jenjang organisasi
pipih atau datar, karena volume pekerjaan yang relative terbatas yang mempunyai
korelasi positif dengan pembagian kerja, dan jenjang organisasi. Se-dangkan
institut dan universitas, dapat terjadi memiliki jenjang struk-tur organisasi
yang curam, karena banyak volume pekerjaan dan ba-nyaknya satuan organisasi.
g.
Kesatuan
Perintah.
Kesatuan
perintah (unity of command, one master,
responsibility to one superior) adalah prinsip yang mengajarkan tiap-tiap
pejabat dalam organisasi hendaknya hanya dapat diperintah dan bertanggungjawab
ke-pada seorang pejabat atasan tertentu. Sebab, “No man can serve two bosses” (Warren Haynes & Joseph L.
Massie), atau “A man cannot serve two
master” (Luther Gullick) (dalam Sutarto, 1988, 171). Oleh karena itu
garis-garis saluran perin-tah dan tanggung jawab harus de-ngan jelas
menunjukkan dari siapa seorang pejabat menerima perintah dan kepada siapa dia
bertanggung-jawab; harus jelas pula kepada siapa dia melapor dan dari siapa dia
mem-peroleh laporan.
Berkaitan
dengan keinginan menjadikan struktur organisasi perguruan tinggi yang sehat dan
efi-sien maka tim penyusun struktur organisasi perguruan tinggi harus
memperhatikan dan menerapkan asas kesatuan perintah ini; termasuk da-lam
memvisualisasikannya dalam bentuk bagan struktur organisasi per-guruan tinggi.
C. Kesimpulan
Uraian
dan penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam rangka mewujudkan visi,
misi, tuju-an, dan sasaran perguruan tinggi dibutuhkan struktur organisasi
pergu-ruan tinggi yang baik, yaitu struktur yang sehat dan efisien. Dalam
proses membentuk struktur organisasi per-guruan tinggi dengan menjalankan
fungsi manajemen yakni pengorga-nisasian, tim yang dibentuk harus memperhatikan
dan menerapkan ber-bagai asas-asas organisasi yang terkait yaitu perumusan
tujuan de-ngan jelas, departemenisasi, pemba-gian kerja, pelimpahan wewenang,
rentangan kontrol, jenjang organi-sasi, dan kesatuan perintah. Pelak-sanaan
asas-asas tersebut dalam pro-ses pengorganisasian, dapat mengha-silkan struktur
organisasi perguruan tinggi yang sehat dan efisien. De-ngan cara demikian tim
dapat menja-dikan struktur organisasi perguruan tinggi yang sehat dan efisien,
yang kemudian diundangkan oleh penye-enggara perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ferrell, O.C, Geoffrey A. Hirt.
Linda Ferrell. 2009. Business A Changing
World. Mc.Graw-Hill Irwin. New York
Hall, Richard H. 1991. Organizations Structure, Processes, and Outcome.
Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey
McLeod, Raymond Jr. 1995. Sistem Informasi Manajemen. Jilid I.
Terjemahan. PT Prenhallindo. Jakarta
Sutarto.
1988. Dasar-Dasar Organisasi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
The Liang
Gie. 2000. Administrasi Perkantoran
Modern. Penerbit Liberty. Yogyakarta
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan Perguruan Tinggi
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi